Perhatikan Keunikannya
Bulan lalu ada kejutan di Surat Pembaca harian Kompas. Penerima waralaba lembaga pendidikan yang cukup terkemuka tidak memperpanjang kontrak gedung, dan salah satu dari orangtua murid sudah terlanjur membayar untuk satu tahun tapi anaknya hanya menikmati bimbel selama satu semester. Ia menghubungi Manajernya, juga Kantor Pusatnya, tapi selisih uangnya tidak kunjung dikembalikan saat surat pembaca itu ia layangkan. Setiap bisnis memiliki keunikan. Beberapa bisnis punya kecenderungan menerima uang di muka untuk beberapa bulan ke depan, misalnya pendidikan sekolah formal dan kursus. Adapula bisnis yang menjual paket layanan yang harus dibayar di muka, seperti spa dan skin care. Bisnis-bisnis dengan pembayaran di muka memang harus ditangani secara unik. Bahkan dalam perjanjian waralaba harus disiapkan klausul-klausul yang khusus terkait bila perjanjian waralaba berakhir. Kewajiban kepada Pelanggan Perjanjian sewa memang harus mengantisipasi berakhirnya sewa ketika masih ada kewajiban kepada pelanggan yang belum diselesaikan. Ada beberapa pilihan sebenarnya, yaitu: mengembalikan selisih biayanya, atau mengalihkan siswa ke lokasi terdekat. Dalam hal ini, bersikap transparan kepada para siswa atau orangtua siswa memang penting. Kondisi ini sebenarnya mirip dengan kejadian Penerima Waralaba Utama yang menawarkan Waralaba Lanjutan, ketika sisa Jangka Waktu Perjanjian Waralaba Utamanya lebih pendek daripada Jangka Waktu Perjanjian Waralaba Lanjutannya. Alangkah baiknya bila perpanjangan sudah dilakukan atau minimal sudah dijajaki sebelum menerima uang di muka dari pelanggan (atau dari Penerima Waralaba Lanjutan dalam konteks penawaran waralaba lanjutan oleh Penerima Waralaba Utama atau Master Franchisee). Harga Sewa Beberapa waktu lalu saya mendampingi seorang calon terwaralaba klien saya yang melakukan negosiasi sewa ruko. Pemiliknya mati-matian hanya mau disewa 2(dua) tahun, selanjutnya ikut harga pasar. Saya jelaskan bahwa mengikuti harga pasar saat bisa saja menjadi terlalu tinggi. Mungkin harga pasar itu hanya cocok kalau rukonya mau disewakan ke operator dan service centre handphone, untuk kantor trading ekspor-impor, atau untuk kantor bank. Saya jelaskan bahwa klien saya punya hitungan bisnis. Kalau ikut harga pasar, berarti ada ketidakpastian yang tinggi, sehingga kemungkinan tidak akan deal. Dua tahun itu baru kembali modal, belum laba. Kalau tahun ketiga dan keempat tidak bisa ditentukan harga sewanya dari sekarang, tentu sangat berbahaya bagi klien saya dan penerima waralabanya. Harga properti kadang melonjak tinggi tanpa memahami skala ekonomis bisnisnya, kemudian harga sewa ikut melambung di luar akal sehat.Itu sebabnya banyak ruko yang bertanda “disewakan” tapi sulit laku. Seorang rekan pebisnis bercerita bahwa ia hendak menutup bisnisnya karena sewa yang semula “hanya” Rp 200 juta setahun dua tahun lalu sekarang perpanjangannya menjadi Rp 400 juta per tahun. “Bangun tidur langsung kebayang kudu setor Rp 1 juta kepada pemilik ruko ... Edan,” katanya sambil tertawa pahit. Naiknya harga sewa bisa menjadi penyebab berhentinya bisnis penerima waralaba. Tapi yang terpenting di sini adalah ketika terhenti, langkah apa saja yang harus diantisipasi pemberi waralaba, penerima waralaba, dan pelanggan itu sendiri. Semoga bermanfaat. Utomo Njoto | Senior Franchise Consultant dari FT Consulting – Indonesia
Tidak ada komentar: