Private Equity Mengincar Waralaba
Anda tentu mengenal Saratoga Capital, perusahaan besar yang dimiliki Sandiaga Uno dan Edwin Soeryadjaja. Ya, Saratoga Capital adalah merupakan contoh perusahaan Private Equity (PE) yang mengelola dana dari para investor. Terakhir, Saratoga bersama dengan mitranya Tiger Airways mengambil alih maskapai penerbangan Mandala Airlines senilai US$ 400 juta. Perusahaan PE dalam menjalankan roda bisnisnya adalah dengan menginvestasikan dana dari para investor dengan cara mengakuisisi perusahaan lain yang sedang bermasalah atau sakit tapi punya prospek bagus. Pada umumnya, setelah diakuisisi PE akan menempatkan orang profesional untuk mengelola/memoles perusahaan bermasalah tersebut agar sehat kembali. Setelah sehat dan bagus baru dijual kembali dengan harga jauh lebih tinggi dari harga akuisisi. Janji keuntungan tinggi inilah yang mendorong para pemilik dana mau menyerahkan dananya untuk dikelola oleh PE. Sejatinya, PE ataupun yang sudah umum kita kenal yakni Ventura Capital (VC) itu serupa tapi tak sama. Serupanya baik PE dan VC sama-sama menanamkan modal di suatu perusahaan yang membutuhkan dana, atau dukungan manajemen profesional. Tapi bedanya, PE melakukan investasi di perusahaan yang sudah terlihat pola arus kasnya. Sedangkan VC melakukan investasi di perusahaan yang masih baru berdiri. Beberapa sumber menyebut sebagai perusahaan yang belum terlihat pola arus kasnya. Nah di Indonesia perusahaan PE belum banyak, tapi belakangan trennya meningkat. Dan menariknya lagi, menurut pengamatan saya PE sudah banyak yang melirik perusahaan-perusahaan waralaba, terutama yang sudah teruji. Sebagai contoh, tahukah Anda bahwa sebelum PT. Sumber Alfaria Trijaya go public, ada perusahaan PE yang berperan penting dalam ‘mengangkat’ nilai perusahaan waralaba minimarket terbesar itu. Contoh lain, di bulan Oktober 2014 CIMB Private Equity dari Malaysia menanamkan investasi mereka untuk menguasai 10% saham di PT. Modern International Tbk. perusahaan yang mengembangkan “sevel” atau 7-eleven di Indonesia. Malaikat Restrukturisasi Di Amerika, PE sudah seperti malaikat restrukturisasi untuk merek-merek waralaba yang mengalami kesulitan keuangan, dan mengajukan perlindungan kepailitan (filing for bankruptcy chapter 11) alias penjadwalan kembali pembayaran utangnya. Sbarro Pizza, contohnya, mengajukan filing for bankcrupcy chapter 11 di bulan Maret 2014. Pada bulan Juni 2014 dikabarkan kepemilikan Sbarro sudah diambil alih oleh suatu PE, dan tercatat USD 150 juta hutangnya dikonversi menjadi saham. Patut dicatat bahwa Sbarro bukan perusahaan baru. Bisnis pizza ini berdiri sejak 1956. Bagi Sbarro, sebenarnya filing for bankcrupcy di tahun 2014 merupakan pengajuan kepailitan yang kedua. Pengajuan kepailitan sebelumnya terjadi di bulan April tahun 2011. Burger King Amerika Salah satu perusahaan pewaralaba yang “memanfaatkan” PE adalah Burger King. Waralaba burger asal Amerika ini berdiri tahun 1953 di Jacksonville, Florida, dengan merek Insta-Burger. Setelah berpindah kepemilikan beberapa kali, umumnya karena salah kelola dan kesulitan keuangan. Pada tahun 2002 TPG Capital, perusahaan PE, mengambil alih Burger King dari pemiliknya saat itu dengan nilai USD 1,5 milyar. TPG tidak sendirian. Bersama TPG ada Goldman Sach dan Bain Capital. Di tangan mereka, Burger King berhasil diperbaiki. Banyak program perbaikan yang dilakukan. Para terwaralaba yang potensial tapi kesultian keuangan diberi bantuan semacam restrukturisasi. Sementara itu, yang sedang merugi dan tidak kompeten serta hendak menjual bisnisnya, diberi keringanan atau pengampunan royalti dan dicarikan pembeli untuk takeover. Manajemen juga melakukan investasi besar dalam kegiatan pemasaran. Pada tahun 2006 Burger King menunjukkan kemajuan yang luar biasa, laba usaha meningkat 37%, dan akhirnya sukses melantai di bursa New York (NYSE) Amerika Serikat. Perkembangan positif ini ternyata tidak berlangsung lama. Krisis menghantam Amerika dan dalam periode 2007-2010 Burger King makin kedodoran bersaing dengan McDonald’s. Pada tahun 2010, TPG akhirnya menjual sahamnya senilai USD 3,26 milyar kepada 3G Capital, perusahaan PE dari Brazil. Pembelian saham oleh 3G Capital ini diikuti dengan keputusan men-delisting Burger King dari NYSE. Di tangan 3G Capital, Burger King berhasil bangkit dan melantai kembali di bursa NYSE pada tahun 2012 lalu. Menurut National Restaurant News (NRN), pada kuartal keempat tahun 2014 Burger King global berhasil meningkatkan nilai rata-rata penjualan di toko yang sama (same store sales) 3%. Sementara itu, untuk wilayah Amerika dan Kanada saja peningkatannya mencapai 4,2%. Bandingkan dengan McD yang pada periode yang sama mengalami kemerosotan nilai rata-rata penjualan di toko yang sama sebesar -0,9% untuk cakupan global, dan -1,7% di wilayah Amerika. Burger King Indonesia dan Selandia Baru Bulan Oktober 2014 lalu, PT. Mitra Adi Perkasa (MAP) mengeluarkan Siaran Pers yang menyatakan bahwa mereka menggandeng mitra strategis untuk memperkuat struktur permodalan Burger King Indonesia. Mitra strategis ini adalah QSR Indoburger. QSR Indoburger adalah salah satu unit dari Everstone Capital, perusahaan PE dari Singapura yang juga mengembangkan Burger King di India. Everstone tercatat memiliki hak waralaba untuk jangka waktu 25 tahun untuk wilayah India. Everstone juga telah mengambil 51% saham Domino’s Pizza di Indonesia pada bulan September 2014. Selain Everstone Capital yang mengembangkan Burger King di India dan menjadi mitra strategis PT. MAP di Indonesia, pada bulan Oktober 2011 The Blackstone Group yang berbasis di New York dikabarkan mengambil alih Antares Restaurant Group, terwaralaba Burger King yang sudah memiliki 75 lokasi di wilayah Selandia Baru, dan berencana untuk terus melakukan penambahan gerai di wilayah itu. Patut dicatat bahwa fenomena PE di Burger King Indonesia, India dan Selandia Baru menunjukkan bahwa PE tidak hanya mengincar pewaralaba, tapi juga terwaralaba, atau lebih tepatnya Area Developer alias multi-unit. Jadi bukan single-unit (satu gerai). PE Mengincar Waralaba Perusahaan PE diprediksi makin mengincar bisnis waralaba, terutama merek-merek yang sudah teruji. Selain mengincar kepemilikan di perusahaan pewaralaba, beberapa PE juga melakukan investasi di level terwaralaba (franchisee) berbasis multi-unit. Alasan mereka adalah, bisnis waralaba lebih terstruktur, polanya jelas, ada penghasilan tetap dari royalti, dan tidak terlalu dibebani oleh belanja modal karena investasi di setiap lokasi ditanggung oleh terwaralaba. Roark Capital adalah PE yang menguasai lebih dari 80% saham kepemilikan Arby’s sejak Juli 2011. Roark juga memiliki sekitar 18,5% saham di Wendy’s. Roark saat ini sudah membeli 34 perusahaan pewaralaba dan terwaralaba. Roark memiliki sumber dana lebih dari USD 6 milyar. Bain Capital, salah satu pemilik Burger King yang sudah melepaskan kepemilikannya kepada 3G Capital di tahun 2010, merupakan perusahaan PE yang sejak 2005 memimpin konsorsium untuk membeli Dunkin Donut dan Baskin Robbins. Pada tahun 2011 Dunkin melantai di bursa NASDAQ. Lantai bursa alias go public umumnya memang menjadi tujuan PE, karena melalui go public inilah mereka menikmati pelipatgandaan keuntungan dari aksi pembelian perusahaan waralaba. Kekuatan financial dari PE pasti memiliki pengaruh positif terhadap arus kas maupun profitabilitas jika pewaralaba memiliki beban bunga akibat terlalu banyak hutang. Kekuatan finansial ini juga akan mendukung kebutuhan ekspansi yang luar biasa, sehingga saat go public kinerjanya benar-benar kinclong. Berapa nilai perusahaan pewaralaba saat diambilalih oleh PE? Menurut catatan, makin banyak gerai terwaralaba makin tinggi nilainya. Bila kurang dari 30% gerai terwaralabanya, nilai rata-rata transaksinya 9,7x EBITDA. Bila lebih dari 60% yang diwaralabakan, bisa mencapai hingga 15x EBITDA. Tentu saja ini berlaku untuk merek waralaba yang sedang berkinerja baik dan menanjak, bukan yang mengalami situasi sulit alias kedodoran, apalagi sedang mencari perlindungan dari kebangkrutan (PKPU). Dampaknya terhadap Terwaralaba PE memiliki tujuan finansial, sehingga tak jarang pengambilalihan oleh PE akan diikuti dengan perubahan besar dalam pengelolaan, termasuk penghematan yang bisa saja mencakup pengurangan pegawai. Di sisi lain perubahan gaya manajemen biasanya cukup berhasil meningkatkan kinerja bisnis di tingkat gerai yang biasa disebut sebagai same store sales. Perubahan kepemilikan dan manajemen di perusahaan pewaralaba pasti berdampak pada para terwaralabanya. Dalam kisah Burger King di tangan Bain Capital dan TPG Capital, terlihat dampak positifnya. Di tangan 3G Capital, meski kinerja Burger King meningkat, dalam laporan riset National Franchisee Association di Amerika terhadap 300 franchise owner dari Burger King di negara itu, terselip kisah keluhan sekitar 35% terwaralabanya yang menganggap tim support pewaralaba terlalu muda usianya, beberapa juga baru lulus kuliah (fresh graduate) dan kurang berpengalaman. Utomo Njoto Senior Franchise Consultant FT Consulting
Tidak ada komentar: