Tidak Harus Waralaba
Waralaba itu pada prinsipnya merupakan upaya pengembangan bisnis. Waralaba bukan satu-satunya jalan untuk mengembangkan bisnis kita. Ada banyak pilihan dengan segala pro dan kontranya, dengan segala bentuk kelebihan dan konsekuensinya. Ada dua bentuk kerja sama yang akan saya uraikan di sini: JV dan kerja sama sewa imbal hasil. JV JV (dibaca: je vi), pada prinsipnya ada dua atau lebih pihak yang bersepakat mendirikan perusahan patungan dengan menyetor modal bersama-sama. Perbandingan atau proporsi nominal setoran modal ini menjadi persentase kepemilikannya aset perusahan dan persentase pembagian deviden (laba usaha yang dibagikan kepada pemegang saham). Dalam kasus tertentu, bisa saja calon terwaralaba mengajak pewaralaba turut memiliki saham bersama-sama sang investor. Bila calon terwaralaba ini pernah menjadi teman sekolah atau teman kuliah, dikenal baik, atau terlihat tulus, tak jarang pewaralaba menyetujui ajakan ini. Setidaknya hal ini mencerminkan kepercayaan pewaralaba pada lokasi yang disetujuinya, juga kemampuan terwaralaba untuk menjalankan atau mengawasi bisnis ini di lokasi tersebut. Perusahaan patungan ini biasanya tetap diperlakukan sebagai terwaralaba. Namun sejak munculnya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 53 tahun 2013, melalui pasal 7 regulasi ini kedudukan perusahaan JV seperti di atas tidak diakui lagi sebagai terwaralaba. Tidak jelas konsekuensi terhadap munculnya pasal ini, kecuali tidak akan diterbitkannya STPW Penerima Waralaba bagi perusahaan patungan yang ada kepemilikan dari pihak perusahaan pewaralaba (maupun salah satu atau beberapa pemegang saham perusahaan pewaralaba) di dalam perusahaan patungan tersebut. Mengapa ada aturan seperti itu? Perkiraan saya, pasal ini untuk mencegah para pewaralaba minimarket melakukan langkah JV dalam menyiasati regulasi pembatasan jumlah gerai milik sendiri. Dengan adanya pasal 7 tersebut, maka gerai JV yang ada kepemilikan pewaralaba tidak diakui sebagai milik terwaralaba. Lalu bagaimana kalau kita sudah punya gerai seperti itu dengan perjanjian waralaba? Sederhana saja, ya diganti perjanjiannya menjadi bentuk kerjasama non-waralaba. Tentu saja harus disesuaikan atau diubah pula istilah yang digunakan untuk biaya-biaya terkait praktek bisnis waralabanya. Kerjasama Sewa Imbal Hasil Kerjasama Sewa Imbal Hasil adalah salah satu bentuk kerjasama non-waralaba yang cukup sering kita jumpai dalam bisnis restoran. Imbal hasil di sini bisa berarti pembagian dari laba usaha, bisa pula berupa persentase dari total penjualan bulanan. Perhitungan berdasarkan persentase dari total penjualan bulanan tentu saja lebih rendah resiko konfliknya, karena tidak melibatkan argumentasi validitas biaya pengeluaran. Dari segi investasi (renovasi dan kebutuhan lain terkait permodalan usaha), pola ini memiliki 2 varian. Pertama, investasi oleh pemilik tempat. Kedua, investasi dari pemilik merek. Dari segi operasional, bila investasi oleh pemilik merek, tentu dikelola oleh pemilik merek. Tapi kalau investasi dari pemilik tempat, bisa dikelola pemilik tempat, bisa juga dikelola oleh pemilik merek. Mengapa harus waralaba? Waralaba memang telah menjadi istilah yang seolah memiliki daya sihir yang menarik perhatian investor. Waralaba seolah lebih menjanjikan keuntungan daripada model kerja sama lainnya yang bukan waralaba. Bila memungkinkan untuk menggunakan waralaba, tentu saja istilah ini lebih menarik. Namun seandainya tidak bisa menggunakan istilah waralaba, tak perlu kecil hati. Kepuasan mitra kerja sama anda, waralaba maupun non-waralaba, dan performa bisnis yang kasat mata, biasanya akan menarik perhatian investor lainnya. Akhirnya, ketulusan untuk menciptakan bentuk kerja sama yang saling menguntungkan, serta kesungguhan dan kejujuran dalam menjalankan kerja sama itu, adalah kunci dari setiap pengembangan usaha yang melibatkan kemitraan dengan pihak lain. Utomo Njoto Senior Franchise Consultant FT Consulting
Tidak ada komentar: