Ads Top

Era Baru Generasi Milenial








Selasa pagi, 22 Maret 2016 lalu kota Jakarta ‘lumpuh’. Kemacetan terjadi di ruas jalanan utama ibukota akibat aksi demonstrasi ribuan supir taksi dan angkutan umum konvensional lainnya. Protes keras disampaikan oleh ribuan supir tersebut. Salah satu tuntutannya adalah blokir sementara aplikasi transportasi online, terutama Uber dan Grab, sambil menunggu aturan baru yang memuat kesetaraan aturan main transportasi konvensional dengan transportasi modern alias transportasi online.

Aksi unjuk rasa para supir taksi dan angkutan umum konvensional tersebut seolah menjadi titik puncak ‘perlawanan’ terhadap bisnis online atau model bisnis aplikasi di Indonesia. Sebelumnya juga diberitakan, beberapa media cetak ternama di tanah air terpaksa harus menghentikan penerbitannya akibat kalah bersaing dengan media online. Fenomena serba online juga merebak ke berbagai bidang lainnya. Para pelaku ‘bisnis baru’ ini seolah berupaya ’memindahkan’ apa yang selama ini offline menjadi online.

Komentar dari para pelaku maupun pemerhati dunia manajemen dan bisnis di Indonesia nyaris seragam, dunia tempat kita hidup mulai berubah. Istilah ‘Milenial’ menjadi semakin ramai didiskusikan sehingga masyarakat juga semakin menyadari dan mengakui, bahwa saat ini adalah eranya para Generasi Milenial yang sangat akrab dengan teknologi digital. Tentang Generasi Milenial pernah sedikit diulas dari sisi marketing di Majalah Franchise edisi bulan Februari 2016.

Perkembangan teknologi informasi, mulai dari smartphone hingga media sosial mengubah cara hidup masyarakat hingga titik yang paling fundamental. Tahun 1962, seorang  pakar komunikasi asal Kanada, Marshal McLuhan mengembangkan teori determinisme teknologi dalam bukunya yang berjudul The Guttenberg Galaxy: The Making of Typographic Man. Istilah determinisime teknologi sendiri pertama kali dikenalkan oleh Thornstein Veblen pada tahun 1920. Inti dari teori determinisme teknologi adalah inovasi dalam bidang teknologi informasi atau teknologi komunikasi memberi perubahan yang sangat besar terhadap kehidupan masyarakat.

Determinsime teknologi beranggapan bahwa budaya dibentuk oleh bagaimana cara masyarakat berkomunikasi. Teori ini juga menyatakan bahwa teknologi adalah kunci yang penting dalam kekuatan menguasai serta mengendalikan masyarakat. Hal ini membawa keyakinan bahwa perubahan sosial yang ada di dalam masyarakat yang terus berubah-ubah dikendalikan oleh inovasi teknologi yang terjadi.

Saat ini, penggunaan smartphone yang semakin massal membuat akses ke dunia maya menjadi sangat mudah. Ini sangat mempengaruhi cara berkomunikasi masyarakat, yang dimotori oleh Generasi Milenial. Akhirnya, mempengaruhi nilai-nilai dan membentuk sebuah peradaban baru, yaitu peradaban digital. Intensitas ‘online’ (aktivitas di dunia data) dengan ‘offline’ (aktivitas dunia nyata) menjadi sama tingginya. Manusia bisa berkomunikasi langsung dengan manusia lain dimana saja, kapan saja dan seketika itu juga. Komunikasi menjadi sangat mudah dan instan. Masyarakat milenial hidup dalam dua alam yang saling mendukung, dunia maya dan dunia nyata.

Dalam era seperti inilah bisnis digital atau online mulai tumbuh. Untuk memesan ojek kita bisa menggunakan aplikasi pada smartphone. Belanja bisa dilakukan dari mana saja, tanpa harus datang ke toko atau ke mall. Dan pada akhirnya, lapangan pertarungan mulai berpindah ke dunia maya. Tidak sedikit pelaku bisnis konvensional yang berguguran akibat gempuran bisnis online. Toko buku Border ‘kehabisan nafas’ melawan amazon.com yang tidak memiliki toko buku sama sekali. Para pengusaha taksi konvensional gelisah melawan Uber dan Grab yang sama sekali tidak memiliki satu pun armada roda empat. Pemilik Alibaba.com, John Ma, muncul menjadi salah satu orang terkaya di Tiongkok.

Mau tidak mau, agar terus survive, para pelaku bisnis konvensional harus beradaptasi pada model bisnis yang baru ini. Ranah digital harus digarap serius, bukan sekadar pelengkap dari bisnis konvensional. Yang tidak kalah penting untuk dipikirkan, inovasi dalam dunia digital berjalan sangat cepat. Dinamika bisnisnya begitu dinamis. Disrupsi teknologi terjadi terus menerus.

Ke depannya, bukan tidak mungkin industri lain seperti keuangan, perhotelan dan bisnis lainnya akan tergusur oleh model bisnis digital. Di negara-negara barat saat ini, aplikasi Airbnb sedang ramai diperbincangkan. Airbnb merupakan aplikasi jasa penginapan yang memungkinkan pemilik properti pribadi (rumah, apartemen, kontrakan, kos-kosan, dan sejenisnya), bisa menawarkan langsung propertinya kepada calon penyewa atau para traveler. Mirip dengan pemilik mobil dan motor pribadi yang bertemu calon penumpang dengan menggunakan aplikasi Uber dan Go Jek.

Airbnb jelas dapat membuat gerah para pelaku usaha perhotelan. Jika suatu saat aplikasi seperti Airbnb hadir di Indonesia, maka akan menjadi ancaman yang sangat serius bagi industri perhotelan di tanah air. Sedangkan untuk sistem pembayaran mobile, saat ini kita sudah mengenal Paypal, Google Wallet, Square Cash,  dan sebagainya. Yang sedang trend di dunia barat sekarang ini adalah aplikasi Venmo, yang memungkinkan kita melakukan transfer uang antar teman semudah mengetik sms (short message service).

Sedangkan di Indonesia yang diprediksi juga akan bisa menjadi tren adalah aplikasi Jojonomi, sebuah aplikasi bikinan anak negeri yang bisa berfungsi untuk mengatur keuangan pribadi maupun bisnis atau perusahaan. Lewat aplikasi ini pengeluaran-pengeluaran keuangan akan lebih terkontrol secara lebih mudah, semudah kita bermain di social media. Pertanyaannya, terutama bagi para pelaku bisnis konvensional, sudah siapkah dengan itu semua?





Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.