Ads Top

Berbisnis Franchise Harus Punya Etika






Semua bisnis, apa pun jenisnya tidak bisa lepas dari yang namanya etika bisnis. Sebab berbisnis terkait erat dengan trust atau kepercayaan. Tanpa adanya trust akan sulit menjalin businessrelationship dengan pihak lain. Karena itu pentingnya etika dalam berbisnis. Bisnis yang tidak dilandasi oleh etika tidak jarang akan menimbulkan konflik. Jadi conflictof interest yang seringkali timbul di dunia bisnis karena faktor tidak adanya etika bisnis yang baik, atau sudah berbeda visi misi dan kepentingan bisnis dengan mitranya. Begitu pun dalam bisnis franchise. Franchisor dan franchisee harus memiliki etika yang baik. Mereka harus saling mendukung dan mendorong. Harus memiliki tujuan bisnis yang sama. Punya visi misi yang sama. Sehingga yang muncul adalah kepentingan bersama, bukan kepentingan yang menimbulkan conflict of interest. Itu yang mestinya diperhatikan oleh pelaku bisnis franchise. Jadi jangan hanya mengedepankan aspek teknis saja dalam berbisnis franchise. Hal-hal semacam SOP, infrastruktur bisnis, tools bisnis, supporting, produk, manajemen, dan organisasi bisnis memang sangat diperlukan untuk kemajuan bisnis. Tapi jangan dilupakan juga soal etika. Karena justru persoalan etika ini lah yang kerap menghambat perkembangan bisnis. Contoh saja, ketika franchisor mendapatkan franchisee yang nakal atau tidak beretika. Dia (franchisee) memang punya niat yang tidak baik dari awal berdiri. Begitu dia bergabung menjadi franchisee dan sukses mengelola bisnisnya, ia justru keluar dan memutuskan kontrak kerjasama. Lalu ia membangun bisnis baru dengan merek berbeda, tapi mempunyai produk dan lokasi bisnis yang sejenis. Atau ada pula franchisee yang begitu bergabung ia sulit diatur, tidak mau bayar royalty fee, selalu melanggar standar yang ditetapkan franchisor. Begitu juga jika ada seorang pejabat atau karyawan yang bekerja di suatu perusahaan franchise misalnya. Tadinya ia berada dalam suatu kelompok perusahaan tersebut. Kemudian memutuskan untuk memisahkan diri dan mendirikan usaha yang baru. Tapi usahanya tersebut berada di bidang yang sama. Nah, itu juga sudah bertentangan dengan etika bisnis, karena dia telah memperoleh pengetahuan & perkembangannya dari usaha yang tadinya dia termasuk di kelompok tersebut. Ini tentunya tidak sesuai dengan etika bisnis (yang memang tidak ada hukumnya). Contoh lainnya misalnya, jika ada seorang konsultan franchise yang berkalikali tampil sebagai wakil dari asosisasi. Itu juga akan menimbulkan conflict ofinterest karena sebagai wakil asosiasi tersebut sudah tidak netral lagi dalam memberi pendapat. Begitu pula jika seorang Ketua Asosiasi yang menjadi konsultan franchise, itu juga sudah tidak netral lagi dalam memberi pendapatnya. Di sini akan terjadi conflict of interest dan tentunya juga bertolak belakang dengan etika bisnis. Jadi intinya, konflik itu bisa timbul apabila franchisee tidak mempunyai tujuan yang sama dengan franchisornya. Di satu sisi franchisor tersebut ingin mengembangkan jaringannya, sedangkan master franchiseenya berkeinginan sebaliknya maka tentu ini tak bisa jalan. Satu hal lagi, franchisor juga sudah harus membuat organisasi bisnisnya secara professional. Dengan kata lain, harus ada pembagian tugas sesuai divisinya masing-masing. Seorang kasir jangan merangkap jadi finance, seorang marketing jangan merangkap jadi gudang, seorang produksi jangan merangkap jadi marketing. Sehingga tidak terjadi tumpang tindih dan menimbulkan konflik. Anang Sukandar ? Ketua Asosiasi Franchise Indonesia




Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.