Berburu Produk di Lokasi Non Strategis
Dalam bisnis, lokasi dianggap sebagai salah satu syarat utama untuk menunjang kesuksesan bisnis. Tanpa lokasi yang strategis mustahil sebuah bisnis akan bisa sukses. Bayangkan, apakah Mc Donald’s akan sukses jika didirikan di tengah hutan? Karena itu, pentingnya menentukan lokasi yang tepat sebelum mendirikaban bisnis. Sebagaimana para pakar pemasaran selalu ngomong; Lokasi, Lokasi, dan Lokasi.
Kendati demikian, lokasi tidak selamanya menjadi faktor utama kesuksesan dalam kasus tertentu. Bahkan lokasi yang tidak strategis dianggap sebagai strategi marketing yang bisa mengundang daya tarik konsumen.
Misalnya Entok Slenget Kang Tanir, yang berdiri di sebuah pelosok di daerah Turi, Jogjakarta. Meski berada nun jauh di sebuah desa, dan bukanya mulai sore hari namun Entok Slenget Kang Tanir sudah cukup dikenal banyak orang sebagai salah satu destinasi kuliner di Jogjakarta.
Entok Slenget Kang Tanir menjadi salah satu contoh bahwa lokasi bisnis tidak selalu menjadi faktor tunggal kesuksesan sebuah usaha. Malah, lokasi yang kurang strategis dan berada di pelosok desa yang jauh dari traffic justru menjadi strategi marketing karena menjadi pembicaraan orang banyak atau WOM.
Konsumen rela bersusah payah mencari Entok Slenget Kang Tanir di pelosok, hanya untuk merasakan sensasi slengetan daging entok yang unik dan langka. Pemburuan menyantap daging entok justru menjadi pertualangan tersendiri atau customer experience yang menarik bagi para konsmen.
Begitupula dengan Bakmi Mbah Mo. meski lokasinya jauh di Desa Code, Trirenggo, Bantul, namun orang banyak yang bersusah payah untuk menyantap bakmi jawa yang paling populer di daerah Jogja ini. Bakmi Mbah Mo seolah menjadi legenda bakmi terkenal di daerah Bantul.
Tidak ada habis-habisnya orang membicarakan kenikmatan makan bakmi jawa di kedai Bakmi Mbah Mo yang lokasinya susah dijangkau oleh kendaraan roda empat. Bahkan ada cerita orang-orang sampe rela menunggu 40 antrin hanya untuk menikmati bakmi godok jawa yang sudah menjadi destinasi kuliner di Bantul.
Kasus yang sama juga terjadi pada produk Bucini. Sekilas, merek ini memang berbau Italia. Tapi sejatinya merek tersebut asli buatan Yogyakarta. Pabriknya telah berdiri sejak 1997. Awalnya hanya membuat dompet dan barang lain yang berbahan dasar kulit. Tapi semakin lama usahanya itu terus maju.
Hebatnya, produk kulit bikinan Bucini sudah diekspor ke Belanda. Lalu dari negeri Kincir Angin itu didistribusikan ke negara-negara Eropa lainnya. Bahkan dalam kunjungan ke Yogyakarta, rombongan Wakil Presiden Jusuf Kalla sempat berkunjung ke Desa Klodangan, Sendangtirto, Berbah, Sleman. Rombongan Jusuf Kalla menyempatkan berbelanja di sentra industri tas, sepatu, dompet, dan sabuk kulit Bucini di sana.
Merek-merek di atas memang tidak punya cabang banyak. Mereka hanya memproduksi produknya saja di satu daerah. Akan tetapi, produknya dikenal banyak orang bahkan sampai diekspor ke berbagai negara.
Berkat word of mouth (WOM) lewat sosial media seperti instagram, facebook, path, dan sebagainya, sebuah bisnis memang bisa dikenal orang meski di lokasi yang tidak strategis sekalipun. Apalagi didukung oleh produk yang berkualitas, punya sesuatu yang unik yang membuat orang kalau tidak datang ke situ merasa rugi.
Cuma memang kelemahannya, skup pasarnya tidak bisa berkembang luas kecuali bila dia ekspor. Seperti Bakmi Mbah Mo dan Entok Slenget Kang Tanir itu skupnya hanya di Jogja saja. Yang hanya menikmati orang jogja atau wisatawan yang berkunjung ke Jogja. Sehingga dia tidak bisa menjadi market leader di kategori bisnisnya. Dan jika dia buka cabang pun bisa jadi tidak akan sukses.
Hal ini memang di luar pakem marketing, di mana orang biasanya kalau buat usaha harus strategis. Tapi dengan perkembangan digitalisasi yang luar biasa seperti social media dan aplikasi Waze, lokasi bisnis di pelosok sekalipun bisa gampang ditemui. Dan hal ini menjadi perburuan yang sangat menantang bagi pencinta kuliner, sama halnya seperti penggemar game Pokemon Go ketika berburu Pokemon. Selamat berbisnis!
Tidak ada komentar: