Integritas, Kedewasaan, Kompetensi, dan Kepandaian: Empat Jurus Sukses Franchisor
Industri franchise dan BO di Indonesia mengalami pertumbuhan yang signifikan dari sisi kuantitas. Pada setiap event pameran waralaba, kita bisa melihat munculnya merek-merek baru yang turut meramaikan persaingan dalam industri ini. Kategori bisnis para pemain waralaba dan BO di Indonesia juga sudah sangat beragam, tidak hanya didominasi oleh mereka yang datang dari kategori kuliner.
Meskipun tumbuh dari sisi kuantitas, industri franchise dan BO di Indonesia masih rendah dari sisi kualitas. Tidak sedikit merek-merek baru yang memproklamirkan dirinya sebagai bisnis waralaba atau BO memiliki usia yang tidak panjang. Secara bisnis, merek-merek tersebut belum mati sebab bisnisnya masih berjalan. Hanya saja, mereka tidak lagi menggunakan pola kerja sama waralaba. Ada kesan penawaran waralaba yang ditawarkan bersifat coba-coba. Akibatnya, setelah dua atau tiga tahun menjual waralaba, si franchisor tidak mampu mengatasi berbagai persoalan yang muncul. Bahkan yang lebih ironis, tidak sedikit outlet franchisee yang bangkrut sedangkan outlet si franchisor tetap berjalan dan masih bisa menghasilkan keuntungan.
Disinilah integritas seorang franchisor diuji, seberapa mampu si franchisor dapat betul-betul membuktikan janjinya yang terwujud dalam penawaran waralaba bisnisnya. Ketika dia sudah memproklamirkan diri sebagai waralaba, harusnya dia sudah bisa mempersiapkan segalanya dengan baik. Minimal, syarat sebagai kategori usaha waralaba menurut peraturan pemerintah harus sudah melekat pada bisnisnya. Dengan begitu, penawaran waralaba yang dipublikasikan kepada para calon franchisee bukan sekadar ajang coba-coba tanpa memiliki perencanaan yang matang untuk ke depannya.
Integritas menjadi karakter kunci bagi seorang franchisor. Jika dia memiliki integritas, maka kepercayaan franchisee akan didapatkannya. Dalam pemahaman etika, integritas dapat diartikan sebagai kejujuran dan kebenaran dari tindakan seseorang. Integritas juga diartikan sebagai konsep yang mengacu kepada konsistensi antara tindakan dengan nilai dan prinsip. Lawan dari integritas adalah hipokrit atau munafik. Seseorang dapat dikatakan memiliki integritas apabila tindakannya sesuai dengan nilai, keyakinan dan prinsip yang dianutnya.
Waralaba merupakan pola pengembangan usaha yang sangat rumit dan kompleks dibanding membuka cabang sendiri. Waralaba melibatkan pihak lain (dalam hal ini franchisee yang merupakan manusia) untuk diajak bekerja sama. Tidak seperti barang mati, mengelola manusia membutuhkan kemampuan khusus. Peluang pertumbuhan outlet yang signifikan juga membutuhkan perencanaan pengelolaan melalui manajemen yang handal.
Integritas yang dimiliki oleh franchisor harus diimbangi juga dengan kedewasaan berbisnis. Kedewasaan ini yang menentukan seseorang untuk berpikir bijak apapun kapasitas dan pengetahuan yang dimilikinya. Hal ini tercermin dari bagaimana si franchisor menerima dan memberikan masukan serta yang paling utama adalah mengatasi perbedaan tanpa menimbulkan distorsi dan disharmoni tanpa merugikan orang-orang di sekitarnya.
Kedewasaan bisa didapat dari pengalaman dan kualitas proses yang dilalui seseorang. Kedewasaan tidak ditentukan oleh kapasitas umur maupun ukuran kecerdasan (IQ) ataupun faktor fisik. Kedewasaan lebih kepada inisiatif, kesadaran, toleransi dalam memahami banyak hal secara multiperspektif. Dengan bertindak dewasa dan memiliki integritas, seorang franchisor dapat mengayomi para franchisee, layaknya orang tua mengayomi anak-anaknya. Dengan begitu, akan terbangun sebuah ‘keluarga’ yang ‘sehat’ yang bisa mengantarkan kepada kesuksesan bersama.
Dua karakter tersebut akan semakin gemilang jika ditunjang dengan kompetensi (cerdas) dan kepandaian (pintar) yang mumpuni. Kompetensi dan kepandaian ini bisa terus ditingkatkan dengan cara belajar (learning). Kompetensi lebih kepada kemampuan seorang franchisor untuk memahami masa depan sesuai dengan kapasitasnya. Seorang franchisor harus visioner dan mampu membaca pasar secara komprehensif. Kompetensi juga terkait dengan kemampuan berpikir kreatif dalam menemukan sebuah cara kerja maupun produk yang inovatif yang benar-benar tidak terpikitkan oleh orang lain. Salah satu metode inovasi yang sering kita dengar adalah ATM (Amati, Tiru, Modifikasi).
Kepandaian lebih kepada kemampuan seseorang untuk berpikir di atas rata-rata kebanyakan orang. Orang yang pandai atau pintar juga paham benar bagaimana mendayagunakan otaknya untuk berpikir lebih baik dalam banyak hal. Dalam pengelolaan bisnisnya, franchisor tentunya harus lebih pintar dari pada franchisee sebab franchisor lebih menguasai bidang bisnis tersebut. Franchisor adalah mentor bagi franchisee. Mau tidak mau, franchisor dituntut mampu memberikan solusi terhadap segala persoalan yang dihadapi franchisee terkait dengan bisnis waralabanya.
Agar menjaga industri ini tetap sehat, pemerintah telah membuat seperangkat aturan pelaksanaan bisnis waralaba. Kita sebagai pelaku yang terlibat langsung juga harus mendukung agar industri ini tetap sehat. Empat jurus yang sudah dipaparkan tersebut harus dipegang teguh oleh calon franchisor maupun franchisor yang sudah terjun dalam industri ini. Jangan sampai industri franchise di Indonesia tumbuh tidak sehat, hanya besar secara kuantitas namun mengenaskan secara kualitas.
Selamat berbisnis!
Tidak ada komentar: