Ads Top





Dalam hidup ini terus muncul pertanyaan klasik yang selalu berulang dan bakal dijumpai oleh setiap pebisnis, misalkan: ingin membuat produk sendiri atau mengandalkan barang impor, kemudian uang yang sudah terkumpul akan digunakan untuk bisnis ataukah didepositokan ke bank, ingin membangun bisnis sendiri ataukah membeli bisnis dengan sistem franchise. Begitu pula dengan permasalahan merek: mana dulu yang lebih diprioritaskan, mau menjalankan bisnisnya ataukah mendaftarkan mereknya terlebih dahulu. Pengusaha barat dapat dipastikan lebih memilih mengurus legalitasnya terlebih dahulu termasuk pendaftaran merek. Namun pemikiran orang barat tersebut bakal mendapat perlawanan dari pebisnis timur yang lebih berorientasi kepada hasil. Pebisnis mempertanyakan bagaimana seandainya saya telah mendaftarkan merek kemudian produk dengan merek yang didaftarkan tersebut ternyata tidak laku. Dari dua pandangan yang saling bertolak belakang, penulis masih optimis dapat menengahi dengan melihat animo masyarakat terhadap produk yang kita tawarkan. Apabila respon pasar selama 3 - 6 bulan (tergantung jenis produk), maka segera lakukan pendaftaran merek. Jangan terlena dan menunda oleh karena permintaan atas merek kita meningkat. Kita pun jadi sibuk, sehingga lupa mendaftarkan merek kita sendiri di Direktorat Merek, DJHKI, Kementrian Hukum dan HAM RI. Tulisan ini bukan bermaksud membahas teknis proses pendaftaran merek, karena hal tersebut sudah dikupas di buku “8 Jalur Mendapatkan Merek Terdaftar” (Muliawan, Benny. 2012. Jakarta, Neo Mediatama). Namun di dalam UU merek secara implisit mengungkap waktu yang dibutuhkan untuk mendaftarkan merek dengan asumsi lancar adalah 1 tahun 2 bulan 10 hari. Bandingkan dengan bukti yang ada secara riil di lapangan hampir memakan waktu tiga tahun lamanya. Perlindungan merek menganut sistem teritori, artinya walau merek fanchisor telah didaftarkan di Singapura (IPOS), namun karena hendak digunakan di Indonesia, maka harus cepat segera didaftarkan juga di Indonesia dengan meminta bantuan Konsultan Hak Kekayaan Inteletual. Begitu juga berlaku bagi franchisor dalam negeri yang ingin merambah ke luar juga harus mendaftarkan mereknya di masing-masing negara. Apakah dengan saya mengajukan pendaftaran merek dapatkah dipastikan bahwa merek saya aman? Pertanyaan tersebut sama halnya apakah bila saya mendaftarkan merek pasti tidak akan ditolak? Pertanyaan berlanjut, apabila ada kemungkinan merek saya ditolak, lalu apa gunanya saya mendaftarkan merek? Itulah lingkaran setan yang menjadi keengganan bagi usaha mikro dan kecil untuk mendaftarkan mereknya sendiri. Masih segar ingatan penulis, pernah terjadi sengketa merek franchise Bakso Tulang Muda tiga tahun lalu yang dimuat oleh Majalah Info Franchise edisi 11/VI/November 2011, di mana dilakukan penindakan terhadap gerai Bakso Tulang Muda di Yogyakarta dan Sleman. Bakso Tulang Muda yang tidak memiliki hak tersebut telah memfranchisekan bisnisnya tersebar di berbagai daerah seperti Bekasi, Tangerang, Kalimantan. Hal ini menyebabkan Bakso Tulang Muda (dari Yogya) walaupun telah menjadi anggota AFI harus dihentikan operasionalnya, karena melanggar hak merek Bakso Tulang Muda dari Surabaya. Pertanyaannya mengapa hal tersebut bisa terjadi? Dalam kasus ini kedua pihak sama-sama mendaftarkan merek bakso tulang muda, namun hanya terpaut tiga bulan. Jadi perlu diperhatikan faktor waktu (first to file). Perlunya pendaftaran merek multiclass Perlindungan merek diatur secara internasional yang disebut nice classification atau di sertifikat merek disingkat NCL yang saat ini telah mencapai edisi 10. Untuk mengamankan merek kita, jangan hanya mendaftar merek di satu kelas saja, namun perlu dicari kelas yang berhubungan contoh mendaftar merek roti AXN (kelas 30) orang yang sama perlu juga mendaftar merek AXN digunakan utk toko roti (kelas 35). Kasus merek Ikan Bakar Cianjur adalah kasus yang paling relevan dengan kasus multiclass, pemilik asli harus merogoh koceknya dalam-dalam untuk mendapatkan merek Ikan Bakar Cianjur di kelas jasa restoran (kelas 43) lewat jalur pengadilan. Merek franchise Coffee Toffee yang mengubah konsep bisnisnya dari gerobak (kelas 35) berubah ke konsep kafe perlu juga diantisipasi dengan mendaftarkan merek Coffee Toffee di kelas 43. Perbedaan persepsi tentang konsep persamaan pada pokoknya Alasan penolakan merek di Direktorat Merek, DJHKI, Kementerian Hukum dan HAM RI secara statistik masih didominasi alasan persamaan pada pokoknya. Alasan persamaan pada pokoknya ini terkadang menjadi kontroversi. Misalkan: Apakah merek Tekko memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek Leko untuk jasa restoran? Direktur Merek menjawab sama, namun jawaban akhir tidak (versi putusan komisi banding merek). Apakah merek Wok Noodle memiliki persamaan pada pokoknya dengan Wok & Co untuk jasa restoran? Direktur Merek menjawab sama, Komisi Banding Merek menjawab sama dan jawaban akhir dari Pengadilan Niaga Jakarta menyatakan berbeda. Pertanyaan berikut apakah merek Leopard memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek Leo untuk lampu senter? Direktur Merek menjawab sama, Komisi Banding Merek menjawab sama dan jawaban akhir dari Pengadilan Niaga Jakarta juga menyatakan sama, namun menurut penulis sampai hari ini jawaban penulis tetap berbeda. Lalu apakah dengan mengantongi STPW sudah dapat dikatakan mereknya tidak bermasalah? Memang syarat untuk mendapatkan STPW mengharuskan HKI yang terdaftar, namun dalam praktek tidak harus berupa sertifikat merek, boleh dalam bentuk permohonan merek. Saat peluncuran buku “8 Jalur Mendapatkan Merek Terdaftar” dua tahun lalu, penulis pernah mengungkap skenario berikut: Bagaimanakah status STPW franchisor yang asumsinya saat itu hanya melampirkan bukti permohonan merek, namun setelah jalan dua tahun kemudian mereknya ditolak oleh DJHKI? Jelas franchisee yang dirugikan dan bisa memicu kasus Bakso Tulang Muda jilid dua. Dari sini berarti memiliki STPW bukan jaminan mereknya aman. Dalam kondisi bagaimanakah suatu merek disebut aman? Idealnya semua merek seharusnya mendapatkan dua kali ujian. Ujian pertama saat pengusaha secara administratif berusaha mendapatkan haknya berupa sertifikat merek. Dan ujian kedua diuji ketika pengusaha tersebut berhasil mempertahankan status merek terdaftarnya ketika “diserang” dalam bentuk gugatan pembatalan merek ataupun gugatan penghapusan merek. Contoh: merek Kok Tong Kopitiam berhasil dibatalkan mereknya, artinya merek Kok Tong Kopitiam lulus di ujian pertama, namun gagal melewati ujian kedua. Menurut penulis, merek dikatakan aman ketika merek tersebut telah terdaftar lebih dari lima tahun dan digunakan serta dengan penggunaan etiket merek yang sesuai dengan yang didaftarkan. Pemerintah memfasilitasi situs web yang dapat digunakan untuk penelusuran merek di www.dgip.go.id, sedangkan penulis juga menyediakan di www.MerekTerdaftar.com. Perlu dilakukan penelusuran merek terlebih dahulu untuk mengantisipasi adanya penolakan merek di kemudian hari, termasuk untuk menghindari kasus pidana merek. Demikian hal-hal yang perlu diketahui untuk mengamankan suatu merek, semoga keterangan yang disampaikan dapat bermanfaat. Jika ingin berkomunikasi lebih lanjut, penulis dapat dihubungi di DokterMerek@bmw.id. QUOTE: “Mana dulu yang lebih diprioritaskan, menjalankan bisnis ataukah mendaftarkan merek? Bagaimana seandainya pebisnis telah mendaftarkan merek tapi kemudian produk dengan merek yang didaftarkan tersebut ternyata tidak laku?” Benny Muliawan Konsultan HKI BNL Patent




Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.