Tutup Gerai
Beberapa pebisnis sering bertanya, apakah “pernah tutup gerai” akan menghalangi peluang keberhasilan dalam mewaralabakan bisnis mereka. Tentu saja dari kacamata sebagian besar investor, “pernah tutup gerai” itu akan mengganggu. Namun investor yang cerdas bisa menilai, apakah tutup gerai itu akibat terulangnya kesalahan yang sama, atau justru merupakan proses pembelajaran yang sangat berharga sehingga pewaralaba dapat menghindari kesalahan yang menjadi penyebab tutup gerai. Jadi, tutup gerai sesungguhnya bukan aib yang terlalu besar. Tapi hal itu bisa menjadi aib besar kalau kita menutup gerai berulang-ulang akibat melakukan kesalahan yang sama (dan berulangulang). Pewaralaba menjual “pengalaman”, dan pengalaman itu bisa pengalaman sukses, maupun pengalaman tutup gerai. Artinya, pengalaman yang dijual adalah pemahaman mengenai faktor-faktor pendukung sukses dan penyebab “kegagalan” alias tutup gerai. Tutup gerai terwaralaba Beberapa pewaralaba kadang ragu untuk bertindak tegas kepada terwaralaba yang “sulit diatur”, karena kuatir tutup gerai itu mempengaruhi citra merek (brand image) mereka. Dalam hal menghadapi terwaralaba yang “sulit diatur”, saya bahkan berpendapat kompromi itu lebih berbahaya bagi citra merek yang diwaralabakan. Tutup gerai akibat terwaralaba yang tidak tunduk pada standarisasi, dan yang tidak disiplin terhadap jadwal pembayaran kepada pewaralaba dan pemasok yang jatuh tempo, bukan aib bagi pewaralaba. Bagaimana dengan tutup gerai terwaralaba akibat merugi? Dalam situasi tertentu bisa saja tutup gerai terwaralaba akibat merugi. Kerugian bisa diakibatkan karena salah kelola, salah lokasi, atau ada perubahan situasi yang mengakibatkan asumsi-asumsi bisnis berubah secara signifikan sehingga terpaksa harus tutup. Bila memungkinkan, pengambilalihan gerai tanpa harus mengalami proses tutup gerai (bila bukan dikarenakan faktor lokasi, melainkan faktor salah kelola) adalah langkah yang jauh lebih baik. Filing for bankcrupcy Di Amerika, beberapa merek yang pernah diberitakan pailit (bangkrut), jadi bukan sekedar pernah tutup, masih bisa tetap berkibar. Sbarro Pizza, contohnya, mengajukan filing for bankcrupcy di bulan Maret 2014. Pada bulan Juni dikabarkan kepemilikan Sbarro sudah diambil alih oleh suatu private equity, dan tercatat USD 150 juta hutangnya dikonversi menjadi saham. Patut dicatat bahwa Sbarro bukan perusahaan baru. Bisnis pizza ini berdiri sejak 1956. Bagi Sbarro, sebenarnya filing for bankcrupcy di tahun 2014 merupakan pengajuan kepailitan yang kedua. Pengajuan kepailitan sebelumnya terjadi di bulan April tahun 2011. Jalan yang terjal pasti pernah dihadapi pebisnis manapun. Bila tidak sekarang, mungkin di masa depan. Skala ekonomis Yang dimaksud dengan skala bisnis di sini adalah besaran omset dan net profitnya. Beberapa bisnis memiliki skala bisnisnya tidak bisa meningkat menjadi sangat tinggi. Ada keterbatasan pertumbuhan bisnisnya, sehingga terpaksa harus relokasi (pindah lokasi) gerai ketika harga sewa properti melambung tinggi. Memaksa diri untuk bertahan di lokasi yang sudah terlalu tinggi biaya sewanya sama dengan bunuh diri. Utomo Njoto-Senior Franchise Consultant FT Consulting
Tidak ada komentar: